TUGAS MATA KULIAH PSIKOLOGI KESEHATAN
“ TEORI BELAJAR SOSIAL BANDURA”
Gambar 2.1 secara Umum Teori Belajar Sosial Bandura
1. Latar Belakang Munculnya Teori Belajar
Sosial Bandura
Teori pembelajaran sosial adalah perkembangan utama dari tradisi
teori pembelajaran perilaku (behavioristik). Teori belajar sosial dikemukakan
oleh seorang tokoh yang bernama Albert Bandura yang lahir pada tahun 1925 di
sebuah kota kecil di provinsi Alberta, Canada. Teori pembelajaran sosial (social
learning theory) dari Albert Bandura menerima kebanyakan prinsip teori
perilaku (behavioristik), tetapi terfokus jauh lebih banyak pada efek isyarat
pada perilaku dan pada proses mental internal, dengan menekankan efek pemikiran
pada tindakan dan tindakan pada pemikiran. Pada saat Bandura melakukan
percobaan-percobaan mengenai teori belajar sosial, waktu itu sangat dipengaruhi
oleh kelompok-kelompok peneliti dengan aliran teori belajar behavioristik.
Bandura melihat bahwa hewan-hewan yang dipergunakan untuk percobaan
memperlihatkan tingkah laku sendiri. Artinya tidak ada hewan lain atau dengan
kata lain hewan percobaan dari kelompok peneliti dengan aliran teori belajar
behavioristik tersebut tidak sosial. Hasil-hasil percobaan dan penelitian para
ahli teori belajar behavioristik seperti Skinner dan Thorndike diamalkan pada situasi
sosial. Padahal penelitian dan percobaan yang dilakukan oleh Skinner dan
Thorndike tidak dalam situasi sosial, sehingga Bandura menganggap bahwa perlu
diadakan penelitian lebih lanjut mengenai hal ini. Bandura mengembangkan teori
belajar sosial juga karena ia melihat keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki
oleh teori belajar behavioristik yang pada saat itu merupakan teori yang
diterima oleh banyak kalangan. Bandura (dalam Panen, 2005:4.6) menguraikan
hal-hal keterbatasan teori belajar behavioristik yaitu:
a) Teori
behavioristik sukar diterapkan pada situasi kehidupan nyata. Tidak mungkin ada
satu orang yang terus menerus hadir setiap harinya untuk memberikan hadiah bagi
terlihatnya perilaku yang diinginkan guna menjamin meningkatnya frekuensi
munculnya perilaku tersebut. Biasanya orang harus mengatur dan mengendalikan
perilakunya sendiri.
b) Teori
belajar behavioristik tidak menerangkan mengenai terjadinya pembelajaran
perilaku baru. Kadang-kadang kita melihat orang melakukan suatu tindakan yang
belum pernah dilakukan sebelumnya.
c) Teori
belajar behavioristik hanya dapat menerangkan pembelajaran langsung (direct
learning), di mana konsekuensi diberikan segera setelah perilaku belajar
terjadi, tidak untuk pemadanan yang tertunda (delayed matching), di mana
konsekuensi diberikan kemudian. Sering terjadi suatu perilaku telah terpelajari
tetapi belum segera ditampakkan, dampak belajar mungkin belum terjadi segera
sampai waktu kemudian.
d) Untuk
mengatasi keterbatasan-keterbatasan teori belajar behavioristik tersebut,
akhirnya Bandura mengembangkan sebuah teori yang dikenal sebagai “Teori Belajar
Sosial”.
2. Prinsip-prinsip yang
Mendasari Teori Belajar Sosial
Adapun prinsip-prinsip
yang mendasari teori belajar sosial yang dikemukakan oleh Bandura, yaitu:
a) prinsip
faktor-faktor yang saling menentukan;
b) kemampuan
untuk membuat atau memahami simbol/tanda/lambang;
c) kemampuan
berfikir kedepan;
d) kemampuan
untuk seolah-olah mengalami apa yang dialami oleh orang lain;
e) kemampuan
mengatur diri sendiri;
f) kemampuan
untuk berefleksi (dalam Panen, 2005).
1) Prinsip
faktor-faktor yang saling menentukan
Bandura menyatakan bahwa
diri seorang manusia pada dasarnya adalah suatu sistem (sistem diri/self
system). Sebagai suatu sistem bermakna bahwa perilaku, berbagai faktor pada
diri seseorang, dan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam lingkungan orang
tersebut, secara bersama-sama saling bertindak sebagai penentu atau penyebab
yang satu terhadap yang lainnya. Berikut ini dijelaskan interaksi berbagai
faktor pembentuk sistem diri (self sistem) pada sebuah bagan (Gambar
2.2).
Gambar
2.2 Interaksi Berbagai Faktor Pembentuk Sistem Diri
Keterangan :
P =
Singkatan dari Personal atau kepribadian seseorang
B =
Singkatan dari Berhavior atau perilaku seseorang
E =
Singakatan dari Environment atau lingkungan luar
Teori belajar sosial menekankan observational learning sebagai
proses pembelajaran, yang mana bentuk pembelajarannya adalah seseorang
mempelajari perilaku dengan mengamati secara sistematis imbalan dan hukuman
yang diberikan kepada orang lain.Dalam teori menjelaskan hubungan timbal balik
yang saling berkesinambungan antara kognitif , perilaku ,dan lingkungan.
Kondisi lingkungan sekitar kita sangat berpengaruh terhadap
perilaku kita.Lingkungan kiranya memberikan posisi yang besar dalam kehidupan
sosial kita sehari hari.Lingkungan dapat pula membentuk kepribadian kita.
Dalam skema diatas dapat kita lihat,bahwa antara behavioral,
environment, dan perception sangatlah memberikan andil dalam proses
pembelajaran sosial kita.
Apa yang kita pikirkan akan mempengaruhi perilaku kita,dan
perilaku pribadi kita akan menimbulkan reaksi dari orang lain.Begitu pula
dengan lingkungan, keadaan lingkungan sekitar kita akan mempengaruhi perilaku
kita.Keadaan lingkungan akan menimbulkan reaksi – reaksi tersendiri dari
individu tersebut.Yang dapat memberikan stimulus terhadap individu untuk
melakuka sesuatu berdasarkan apa yang mereka lihat , cermati , dalm lingkungan
tersebut.
Kemudian reaksi – reaksi yang ditunjukkan oleh individu tersebut
akan memberikan penilaian tersendiri terhadap dirinya sendiri,dan karakteristik
dari individu tersebut akan memberikan penilaian tersendiri dari orang lain.
Dari keadaan lingkungan sekitar yang kita lihat dan reaksi –
reaksi dari individu akan memberikan pengaruh terhadap persepsi dan
aksi kita akan stimulus yang diperlihatkan di dalam lingkungan
tersebut.Persepsi timbul karena ada stimulus dari orang lain maupun dari
lingkungan sekitar kita.
Jadi antara behavioral, environment, dan perception sangatlah
bergantung satu sama lain,ketiga komponen tersebut tidak dapat berdiri sendiri.
Namun antar ketiga komponen itu saling memberikan pengaruh atau saling
memberikan perannnya dalam terlaksananya teori pembelajaran sosial.
Komponen – komponen tersebut salimg berhubungan antar komponen
yang lain ,dan saling timbal balik, menerima dan memberi.Tidak akan tercipta
pembelajaran sosial jika tidak ada lingkungan , individu , dan aksi reaksi
sebagai akibat dari adanya stimulus yang ada.
2) Kemampuan
untuk membuat atau memahami simbol/tanda/lambang
Bandura menyatakan bahwa orang memahami dunia secara simbolis
melalui gambar-gambar kognitif, jadi orang lebih bereaksi terhadap gambaran
kognitif dari dunia sekitar dari pada dunia itu sendiri. Artinya, karena orang
memiliki kemampuan berfikir dan memanfaatkan bahasa sebagai alat untuk
berfikir, maka hal-hal yang telah berlalu dapat disimpan dalam ingatan dan
hal-hal yang akan datang dapat pula “diuji” secara simbolis dalam pikiran.
Perilaku-perilaku yang mungkin diperlihatkan akan dapat diduga, diharapkan,
dikhawatirkan, dan diuji cobakan terlebih dahulu secara simbolis, dalam
pikiran, tanpa harus mengalaminya secara fisik terlebih dahulu. Karena
pikiran-pikiran yang merupakan simbul atau gambaran kognitif dari masa lalu
maupun masa depan itulah yang mempengaruhi atau menyebabkan munculnya perilaku
tertentu.
3) Kemampuan
berpikir ke depan
Selain dapat digunakan untuk mengingat hal-hal yang sudah pernah
dialami, kemampuan berpikir atau mengolah simbol tersebut dapat dimanfaatkan
untuk merencanakan masa depan. Orang dapat menduga bagaimana orang lain bisa
bereaksi terhadap seseorang, dapat menentukan tujuan, dan merencanakan
tindakan-tindakan yang harus diambil untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
Inilah yang disebut dengan pikiran ke depan, karena biasanya pikiran mengawali
tindakan.
4) Kemampuan
untuk seolah-olah mengalami apa yang dialami oleh orang lain
Orang-orang, terlebih lagi anak-anak mampu belajar dengan cara
memperhatikan orang lain berperilaku dan memperhatikan konsekuensi dari perilaku
tersebut. Inilah yang dinamakan belajar dari apa yang dialami orang lain.
5) Kemampuan
mengatur diri sendiri
Prinsip berikutnya dari belajar sosial adalah orang umumnya
memiliki kemampuan untuk mengendalikan perilaku mereka sendiri. Seberapa giat
orang bekerja dan belajar, berapa jam orang tidur, bagaiamana bersikap di muka
umum, apakah orang mengerjakan pekerjaan kuliah dengan teratur, dsb, adalah
contoh prilaku yang dikendalikan. Perilaku ini tidak dikerjakan tidak selalu
untuk memuaskan orang lain, tetapi berdasarkan standar dan motivasi yang
ditetapkan diri sendiri. Tentu saja orang akan berpengaruh oleh perilaku orang
lain, namun tanggung jawab utama tetap berada pada diri sendiri.
6) Kemampuan
untuk berefleksi
Prinsip terakhir ini menerangkan bahwa kebanyakan orang sering
melakukan refleksi atau perenungan untuk memikirkan kemampuan diri mereka
pribadi. Mereka umumnya mampu memantau ide-ide mereka dan menilai kepantasan
ide-ide tersebut sekaligus menilai diri mereka sendiri. Dari semua penilaian
diri sendiri itu, yang paling penting adalah penilaian terhadap beberapa
komponen atau seberapa mampu mereka mengira diri mereka dapat mengerjakan suatu
tugas dengan sukses.
3. Pembelajaran Pengamatan (Observational
Learning) dalam Teori
Belajar Sosial Bandura
Karakteristik dari belajar sosial, yang terbukti sangat penting
dan efisien adalah seorang dapat belajar dengan cara memperhatikan model
beraksi dan membayangkan seolah-olah ia sebagai pengamat, mengalami sendiri apa
yang dialami oleh model. Yang disebut model adalah orang-orang yang
perilakunya dipelajari atau ditiru oleh orang lain. Dari sudut pandang Bandura,
orang/pengamat tidak hanya sekedar meniru perilaku orang lain (model), namun
mereka memutuskan dengan sadar untuk melakukan perilaku yang dipelajari dari
mengamati model.
Menurut Bandura (dalam
Friedman dan Schustack, 2008:281), mengamati model dan mengulangi perilaku yang
dilakukan oleh model bukanlah sekedar imitasi sederhana; pembelajaran observasi
juga melibatkan proses kognitif aktif yang meliputi 4 komponen yaitu: atensi,
retensi, reproduksi dan motivasi. Lebih jauh lagi, analisis Bandura (dalam
Slavin, 2008:204) tentang pembelajaran pengamatan (observational learning)
menjelaskan mengenai keterlibatan empat fase dalam pembelajaran ini, yaitu:
a) Fase
Perhatian
Fase pertama dalam pembelajaran pengamatan ialah memberikan
perhatian pada orang yang ditiru. Pada umumnya, siswa memberikan perhatian pada
panutan yang memikat, berhasil, menarik, dan popular. Sebagai pengamat orang
tidak dapat belajar melalui observasi kecuali kaku ia memperhatikan
kegiatan-kegiatan yang diperagakan oleh model itu sendiri dan benar-benar
memahaminya. Ini tergantung seberapa besar dan menjolok mata perilaku yang
diperagakan itu. Perilaku yang sederhana dan menjolok mata lebih mudah diperhatikan
daripada yang tidak jelas. Juga tergantung pada apakah si pengamat siap untuk
memperhatikan perilaku-perilaku yang diperagakan itu terutama ketika banyak hal
lain yang bersaing untuk mendapatkan perhatian si pengamat.
Proses memberikan perhatian tergantung pada kepada kegiatan apa
dan siapa modelnya yang bersedia untuk diamati, misalnya jika anak-anak
dibesarkan dalam rumah tangga yang selalu bertengkar maka kemungkinan besar
mereka akan mudah bertindak kasar dan agresif pula, perilaku yang demikian akan
lebih akan lebih menarik perhatian dari anak tersebut. Menurut Panen
(2005:4.10) menyatakan bahwa,
Untuk menerapkan teori belajar sosial dan memastikan siswa memberi
perhatian yang lebih pada prilaku yang dimodelkan, maka guru sebaiknya
mengusahakan untuk: (1) menekankan bagian-bagian penting dari perilaku
yang dipelajari untuk memusatkan perhatian siswa, (2) membagi-bagi kegiatan
besar menjadi bagian-bagian kecil, (3) memperjelas ketrampilan-ketrampilan yang
menjadi komponen-komponen prilaku, (4) memberi kesempatan untuk siswa
mempraktikkan hasil pengamatan mereka begitu mereka selesai dengan satu topik.
b) Fase
Pengingatan (retensi)
Agar dapat mengambil manfaat dari perilaku orang lain yang telah
diamati, seorang pengamat harus dapat mengingat apa yang yang telah dilihatnya.
Dia harus mengubah informasi yang diamatinya menjadi bentuk gambaran mental,
atau mengubah simbol-simbol verbal, dan kemudian menyimpan dalam ingatannya.
Akan sangat membantu apabila kegiatan yang ditiru segera diulanginya atau dipraktekkan
setelah pengamatan selesai. Pengamat tidak perlu melakukan pengulangan atau
mempraktekkan secara fisik tetati dapat saja secara kognitif, yaitu:
membayangkan, memvisualisasikan perilaku tersebut dalam pikirannya.
c) Reproduksi
Komponen ketiga dalam proses peniruan adalah mengubah ide
gambaran, atau ingatan menjadi tindakan. Umpan balik terhadap hasil belajar
dalam bentuk perilaku yang diperlihatkan oleh pengamat dapat menjadi alat bantu
yang penting dalam proses ini. Umpan balik ini dapat dilakukan lewat observasi
diri dan masukan dari pelatih, guru, dan modelnya sendiri.
d) Fase
Motivasi
Tahap terakhir dalam proses pembelajaran pengamatan ialah
motivasi. Orang tidak akan memperagakan atau melaksanakan setiap hal yang
dipelajarinya lewat proses pengamatan. Siswa akan meniru orang yang ditiru
karena mereka percaya bahwa tindakan seperti itu akan meningkatkan peluang
mereka sendiri dikuatkan. Umumnya seorang pengamat akan cenderung untuk
memperagakan perilaku yang ditirunya jika hal tersebut menghasilkan hal yang
berharga atau diiinginkan oleh pengamat terebut. Pengamat cenderung tidak
memperagakan perilaku yang mengakibatkan munculnya hukuman atau bila ia tidak
mendapat hadiah dari perbuatan tersebut.
4 Konsep-Konsep Penting
dalam Kepribadian menurut Bandura
1) Sistem
Diri (Self System)
Bandura (dalam Friedman dan Schustack, 2008:276) mengajukan sebuah
konsep yang memiliki peran penting dalam kepribadian, yang ia sebut
dengan self-system, satu set proses kognitif yang
individu gunakan untuk mempersepsi, mengevaluasi, dan meregulasi prilakunya
sendiri agar sesuai dengan lingkungannya dan efektif dalam mencapai tujuan yang
ingin dicapai. Oleh karena itu, individu tidak hanya dipengaruhi oleh proses reinforcement eksternal
yang disediakan lingkungan, tetapi juga oleh ekspektasi, reinforcement,
pikiran, rencana, tujuan atau proses internal dari diri. Aspek kognitif yang
aktif dalam diri individu sangat penting dalam pembelajaran. Selain berespon
terhadap reinforcement langsung dengan mengubah prilaku di
masa depan, orang dapat berpikir dan mengantisipasi pengaruh dari lingkungan.
Individu dapat mengantisipasi konsekuensi yang mungkin akan timbul dari
perilakunya sehingga mereka memilih tindakan berdasarkan respon yang dihadapkan
dari lingkungan dan masyarakat.
Walaupun teori pembelajaran klasik mengasumsikan bahwa prilaku
seseorang berubah sepanjang waktu karena pengaruh langsung dari reinforcement dan
hukuman melalui hubungan stimulus-respons, teori Bandura menyatakan bahwa
pengaruh reinforcement sebelumnya akan terinternalisasikan dan
perilaku berubah karena berubahnya pengetahuan dan ekspektasi seseorang
(Friedman dan Schustack, 2008:276). Pendekatannya memberikan peranan penting
pada apa yang disebutnya dengan “human agency”. Kapasitas seseorang
untuk mengontrol perilakunya, dan juga mengontrol proses berpikir internal dan
motivasinya. Pengetahuan bahwa prilaku tertentu (oleh orang lain atau diri
sendiri), pada situasi tertentu, mendapatkan reinforcement di
masa lalu membuat individu berharap bahwa perilaku yang sama akan
mendapatkan reinforcement pada situasi yang sama (atau serupa)
di masa depan. Maka pendekatan ini menggunakan kekuatan pendekatan pembelajaran
dan kognitif terhadap kepribadian.
2) Efikasi
Diri (Self Efficacy)
Menurut Friedman dan Schustack, (2008:283) self-efficacy adalah
ekspektasi keyakinan (harapan) tentang seberapa jauh seseorang mampu melakukan
satu perilaku dalam suatu situasi tertenu. Self-efficacy yang
positif adalah keyakinan untuk mampu melakukan perilaku yang dimaksud.
Tanpa Self-efficacy (keyakinan tertentu yang sangat
situasional), orang bahkan enggan mencoba melakukan suatu perilaku. Menurut
Bandura (dalam Friedman dan Schustack, 2008:283) menyatakan self-efficacy menentukan
apakah kita akan menunjukkan perilaku tertentu, sekuat apa kita dapat bertahan
saat menghadapi kesulitan atau kegagalan, dan bagaimana kesuksesan atau
kegagalan dalam satu tugas tertentu mempengaruhi perilaku kita di masa depan.
Jika seseorang tidak yakin dapat memproduksi hasil yang mereka
inginkan, mereka akan memiliki sedikit motivasi untuk bertindak. Sebagai
contoh, dalam satu penelitian, para lulusan bisnis diminta menemukan dan
menggunakan aturan manajerial untuk menstimulasi suatu organisasi. Sebagian
partisipan diberi tahu bahwa keterampilan yang dibutuhkan bersifat bawaan jika
Anda tidak memiliki keterampilan, Anda tidak bisa berhasil. Partisipan ini
menurunkan ekspektasi hasil yang akan mereka raih dan tidak menunjukkan
performa yang baik. Partisipan lain diberi tahu keterampilan yang dibutuhkan
dapat diperoleh dengan latihan; para partisipan ini membuat target yang
menantang dan mengembangkan strategi organisasi yang sukses.
Menurut Friedman dan Schustack (2008:283) menyatakan,
keyakinan tentang self-efficacy adalah
hasil dari 4 jenis informasi, yaitu: (1) pengalaman kita dalam melakukan
perilaku yang diharapkan atau perilaku yang serupa (kesuksesan dan kegagalan di
masa lalu); (2) melihat orang lain melakukan perilaku tersebut atau perilaku
yang kurang lebih sama (vicarious experience); (3) persuasi verbal
(bujukan orang lain yang bertujuan untuk menyemangati atau menjatuhkan
performa); dan (4) apa perasaan kita tentang perilaku yang dimaksud (reaksi
emosional).
Bandura juga telah mempraktekkan konstruk self-efficacy dalam
bidang kesehatan. Self-efficacy terkait dengan aspek
fisiologis kesehatan. Orang yang tidak memiliki self-efficacy mengalami
stress yang berdampak pada kesehatan dan sistem imunnya. Self-efficacy juga
terkait dengan potensi individu untuk berperilaku sehat, orang yang tidak yakin
bahwa mereka dapat melakukan suatu perilaku yang dapat menunjang kesehatan akan
cenderung enggan mencoba.
3) Regulasi
Diri (Self Regulation)
Menurut Friedman dan Schustack (2008:284) menyatakan, regulasi
diri adalah proses dimana seseorang dapat mengatur pencapaian dan aksi mereka
sendiri, menentukan target untuk diri mereka, mengevaluasi kesuksesan mereka
saat mencapai target tersebut, dan memberi penghargaan pada diri mereka sendiri
karena telah mencapai tujuan tersebut. Konsep self-efficacy adalah
elemen penting dari proses ini, yang mempengaruhi pilihan target dan tingkat
pencapaian yang diharapkan. Yang juga penting adalah skema yang individu
miliki, yang mendasari bagaimana orang memahami dan berperilaku dalam
lingkungannya. Konstruk regulasi diri menitikberatkan pada kontrol internal
(interpersonal) perilaku kita. Proses regulasi diri memiliki relevansi yang
luas terhadap banyak bidang, terutama bidang kesehatan dan pendidikan, yang
merupakan bidang di mana pemahaman yang lebih baik mengenai bagaimana orang
melatih kontrol perilaku mereka sendiri akan berdampak pada meningkatnya
keberhasilan masyarakat dalam bidang pendidikan dan kesehatan.
Kelemahan
Teori Albert Bandura
Teori
pembelajaran Sosial Bandura sangat sesuai jika diklasifikasikan dalam teori
behavioristik. Ini karena, teknik pemodelan Albert Bandura adalah mengenai
peniruan tingkah laku dan adakalanya cara peniruan tersebut memerlukan
pengulangan dalam mendalami sesuatu yang ditiru.
Selain
itu juga, jika manusia belajar atau membentuk tingkah lakunya dengan hanya
melalui peniruan ( modeling ), sudah pasti terdapat sebagian individu yang
menggunakan teknik peniruan ini juga akan meniru tingkah laku yang negative,
termasuk perlakuan yang tidak diterima dalam masyarakat.
Kelebihan
Teori Albert Bandura
Teori
Albert Bandura lebih lengkap dibandingkan teori belajar sebelumnya, karena itu
menekankan bahwa lingkungan dan perilaku seseorang dihubungkan melalui system
kognitif orang tersebut. Bandura memandang tingkah laku manusia bukan semata –
mata reflex atas stimulus ( S-R bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul
akibat interaksi antara lingkungan dengan kognitif manusia itu sendiri.
Pendekatan
teori belajar social lebih ditekankan pada perlunya conditioning ( pembiasan
merespon ) dan imitation ( peniruan ). Selain itu pendekatan belajar social
menekankan pentingnya penelitian empiris dalam mempelajari perkembangan anak –
anak. Penelitian ini berfokus pada proses yang menjelaskan perkembangan anak –
anak, faktor social dan kognitif.
Perilaku merokok.
Perilaku merokok dapat timbul dari pengaruh dari lingkungan
sekitar, dan juga karena adanya pikiran dari kita yang mengolah stimulus
tersebut untuk merokok atau tidak.
Contoh: Seorang pelajar SMA yang masih berumur 17 tahun ,
sering berkumpul dengan gerombolan pemuda – pemuda yang ada di lingkungan
sekitar rumahnya yang terbiasa merokok. Dari pulang sekolah ia
selalu main di tempat itu, teman – temannya selalu mengejak, karena di gerombolan itu hanya dia yang tidak
merokok.
Lama kelamaan ia mulai ada niat untuk mencoba mencicipi rokok itu
seperti apa sich, hal itu di dukung pula dengan lingkungannya yang banyak
merokok. Setelah sekali mencoba, dia merasa ketagihan terus – menerus. Dan
pada akhirnya merokok menjadi kebiasaan dia.
Intinya, lingkungan memang sangat berperan dalam membentuk
perilaku kita, namun niat dan keteguhan hati kita juga berperan
disini. Artinya, meskipun kita berada dalam lingkungan yang
tidak baik, tapi kalau kita dapat mengendalikan diri
kita, maka kita juga tidak akan terjerumus begitu pula sebaliknya.
Panen, Paulina, dkk.
2005. Belajar dan Pembelajaran 1. Jakarta: UniversitasTerbuka.
Slavin, Robert E.
2008. Psikologi Pendidikan Teori dan Praktik. Terjemahan
Samosir, Marianto.
2006. Educational Psycology: Theory and Practice. Jakarta: PT
Indeks.
Friedman, Howard S., and
Miriam W. Schustack. 2008. Kepribadian: Teori Klasik dan Riset Modern.
Terjemahan Ikarinim Fansiska Dian, dkk. 2006. Personality: Classic
Theories and Modern Research. Jakarta: Erlangga.
Trianto. 2010. Mendesain
Model Pembelajaran Inovatif-Progresif: Konsep dan Landasan, dan Implementasinya
pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana.
terima kasih, sangat membantu.
BalasHapuswww.kiostiket.com