TUGAS
MATA KULIAH SOSIOLOGI-ANTROPOLOGI KESEHATAN
“STRATIFIKASI SOSIAL”
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masyarakat terdiri dari beragam kelompok-kelompok orang yang
ciri-ciri pembedanya bisa berupa warna kulit, tinggi badan, jenis kelamin,
umur, tempat tinggal, kepercayaan agama atau politik, pendapatan atau
pendidikan. Pembedaan ini sering kali dilakukan bahkan mungkin diperlukan.
Masyarakat adalah sekelompok individu yang mempunyai hubungan,
memiliki kepentingan bersama, dan memiliki budaya. Masyarakat dengan segala
aspek yang mencakup di dalamnya merupakan suatu objek kajian yang menarik untuk
diteliti. Begitu pula dengan sesuatu yang dihargai oleh masyarakat tersebut.
Dengan kata lain, sesuatu yang dihargai dalam sebuah komunitas masyarakat akan
menciptakan pamisahan lapisan atau kedudukan seseorang tersebut di dalam
masyarakat. Pemisahan lapisan atau kedudukan tersebut dalam sosiologi kita
kenal dengan konsep stratifikasi sosial.
Stratifikasi sosial adalah strata atau pelapisan orang-orang yang
berkedudukan sama dalam rangkaian kesatuan status sosial. Namun lebih penting
dari itu, mereka memiliki sikap, nilai-nilai dan gaya hidup yang sama.
Stratifikasi sosial berbeda dengan kelas sosial, akan tetapi kedua
istilah ini sering kali dipergunakan secara bergantian hingga dalam beberapa
bagian bisa menjadi rancu. Stratifikasi sebenarnya lebih merujuk pada pembagian
kelompok orang kedalam tingkatan atau strata yang berjenjang secara vertikal.
Sementara itu istilah kelas sebenarnya lebih sempit dari stratifikasi sosial.
Istilah kelas lebih merujuk pada satu lapisan atau satu strata tertentu dalam
sebuah konstratifikasi sosial. Kelas sosial, dengan demikian cenderung
diartikan sebagai kelompok yang anggota-anggotanya memiliki
orientasi politik, nilai budaya, sikap, dan perilaku sosial yang secara umum
sama.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang di
atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan stratifikasi sosial ?
2. Bagaimana cara mempelajari stratifikasi sosial ?
3. Apa saja unsur stratifikasi sosial ?
4. Apa yang menyebabkan terjadinya stratifikasi
sosial ?
5. Bagaimana proses terjadinya stratifikasi sosial
?
6. Apa saja kriteria dasar penentu stratifikasi
sosial ?
7. Apa saja bentuk stratifikasi ?
8. Apa saja sifat stratifikasi sosial ?
9. Apa fungsi stratifikasi sosial ?
10. Bagaimana pengaruh stratifikasi sosial dalam masyarakat ?
11. Bagaimana stratifikasi sosial di Indonesia ?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan stratifikasi
sosial.
2. Mengetahui cara mempelajari, unsur, yang
menyebabkan, proses, kriteria dasar, bentuk sifat dan fungsi stratifikasi
sosial.
3. Mengetahui bagaimana pengaruh stratifikasi
sosial dalam masyarakat
BAB II
ISI
2.1 Pengertian
Stratifikasi Sosial
Stratifikasi sosial (Social Stratification) berasal dari kata
bahasa latin “stratum” (tunggal) atau “strata” (jamak) yang berarti
berlapis-lapis. Dalam Sosiologi, stratifikasi sosial dapat diartikan sebagai
pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat.
Stratifikasi
sosial merupakan suatu konsep dalam sosiologi yang melihat bagaimana anggota
masyarakat dibedakan berdasarkan status yang dimilikinya. Status yang dimiliki
oleh setiap anggota masyarakat ada yang didapat dengan suatu usaha (achievement
status) dan ada yang didapat tanpa suatu usaha (ascribed status). Stratifikasi
berasal dari kata stratum yang berarti strata atau lapisan dalam bentuk jamak.
Beberapa definisi stratifikasi sosial ,menurut beberapa ahli :
a. Pitirim A. Sorokin
Mendefinisikan stratifikasi sosial sebagai perbedaan penduduk atau
masyarakat ke dalam kelas-kelas yang tersusun secara bertingkat (hierarki).
b. Max Weber
Mendefinisikan stratifikasi sosial sebagai penggolongan
orang-orang yang termasuk dalam suatu sistem sosial tertentu ke dalam
lapisan-lapisan hierarki menurut dimensi kekuasaan, previllege dan prestise.
c. Cuber
Mendefinisikan stratifikasi sosial sebagai suatu pola yang
ditempatkan di atas kategori dari hak-hak yang berbeda.
d. Bruce J. Cohen
Sistem stratifikasi akan menempatkan setiap individu pada kelas
sosial yang sesuai berdasarkan kualitas yang dimiliki.
Pengelompokan secara vertikal Berdasarkan posisi, status,
kelebihan yang dimiliki, sesuatu yang dihargai.Distribusi hak dan wewenang
Kriteria ekonomi, pendidikan, kekuasaan, kehormatan.
Stratifikasi dapat terjadi dengan sendirinya sebagai bagian dari
proses pertumbuhan masyarakat, juga dapat dibentuk untuk tercapainya tujuan
bersama. Faktor yang menyebabkan stratifikasi sosial dapat tumbuh dengan
sendirinya adalah kepandaian, usia, sistem kekerabatan, dan harta dalam
batas-batas tertentu.
Stratifikasi
sosial pada kenyataannya adalah seperangkat kerangka konseptual bagaimana
memahami dan mendefinisikannya sebagai satu aspek dari organisasi sosial.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Kelley, “since every individual
occupies numerous social position and plays many roles, it is possible to
classify persons into status-role categories, which are ranked in terms of the
relative position of their roles taken as a whole”.
Esensi
dari stratifikasi sosial adalah setiap individu memiliki beberapa posisi sosial
dan masing-masing orang memerankan beberapa peran, sehingga hal ini
memungkinkan untuk mengklasifikasikan individu-individu tersebut ke dalam
kategori status-peran, dimana perangkingan didasarkan atas posisi relatif dari
peran-peran yang mereka mainkan secara keseluruhan.
Stratifikasi sosial didefinisikan secara eksplisit atau implisit
sebagai sistem fungsional yang diakui dalam diferensiasi dan posisi rangking
dalam kelompok, asosiasi, komunitas dan masyarakat.
Berdasarkan definisi dari stratifikasi sosial di atas, dapat
dilihat dengan jelas bentuk dari diferensiasi sosial, tetapi terdapat sebuah
perbedaan dari diferensiasi sosial. Bentuk-bentuk lain dari diferensiasi sosial
adalah peran kekerabatan/keluarga (kinship roles), peran berdasarkan jenis
kelamin (sex roles), atau peran berdasarkan usia (age roles), dimana
penentuannya didasarkan atas kualitas masing-masing individu. Oleh karena itu,
stratifikasi sosial merupakan konsep yang universal.
Stratifikasi sosial bersifat sangat luas karena stratifikasi
sosial itu menunjukkan atau memiliki fungsi sosial, diantaranya: (i) untuk
memberikan kemudahan dalam pembagian kerja yang jelas, untuk memudahkan
masing-masing individu menjalankan tugas-tugasnya (sebagai fungsi sosial
dibutuhkan untuk mengetahui kedudukan seseorang dalam struktur yang tinggi);
(ii) untuk memudahkan dalam pemberian penghargaan (reward) baik dalam bentuk
uang, prestise maupun kekuasaan; (iii) sebagai fungsi sosial untuk memperoleh
kedudukannya tidak berdasarkan atas dasar reward.
Stratifikasi sosial menunjukkan adanya suatu ketidakseimbangan
yang sistematis dari kesejahteraan, kekuasaan dan prestise (gengsi) yang
merupakan akibat dari adanya posisi sosial (rangking sosial) seseorang di
masyarakat. Sedangkan ketidakseimbangan dapat didefinisikan sebagai perbedaan
derajat dalam kesejahteraan, kekuasaan dan hal-hal lain yang terdapat dalam
masyarakat. Dalam stratifikasi sosial, ketidakseimbangan dikatakan sistematis
untuk menggarisbawahi bahwa ketidakseimbangan dibangun di dalam struktur sosial
dan bukan merupakan akibat perbedaan individu atau kesempatan yang didapatkan
oleh masing-masing individu.
Pada kenyataannya, salah satu pengertian dari sosiologi, bahwa
stratifikasi menjadi bagian besar dari masyarakat dan bukan sekedar
keberuntungan atau usaha personal. Semua masyarakat di dunia modern dipandang
sebagai masyarakat yang berlapis berdasarkan kesejahteraan, kekuasaan dan
prestise, dan juga berdasarkan atas hal lain seperti gender, ras dan etnis.
Setiap masyarakat dimana
pun adanya berada dalam suatu lingkup geografi dan budaya tertentu pada
dasarnya memiliki struktur sosial yang berbeda satu sama lainnya.
Dalam masyarakat pasti memiliki stratifikasi atau pelapisan
sosial, tidak peduli masyarakat tersebut dikelompokkan ke dalam masyarakat
tradisonal ataupun modern. Hanya saja untuk melihat fenomena ini memerlukan
kejeliaan. Pada dasarnya pelapisan sosial sebagai suatu ciri dari masyarakat
(kehidupan manusia) baik masyarakat tradisional atau modern. Keadaan ini
membutuhkan adanya identitas setiap lapisan masyarakat yang dapat dijadikan
simbol bagi status sosial seseorang yang dapat memberikan sejumlah hak dan
kewajiban dalam kehidupan.
Pelapisan sosial yang ada dalam masyarakat di samping memberikan
status sosial seseorang, entah status sosial tersebut naik (mobilitas sosial
vertikal naik) ataupun turun (mobilitas sosial vertikal turun) atau hanya
mengalami pergeseran status (mobilitas sosial horizontal), semuanya tersebut
juga memiliki peran yang tidak dapat dipisahkan dari status sosial yang melekat
pada status yang baru tersebut. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Weber, bahwa
status sosial seseorang terkait dengan kehormatan yang melekat dalam status
tersebut.
Kehormatan mungkin dapat dihubungkan ke dalam masyarakat yang
serba pluralitas yang akan mengacu terhadap adanya pembedaan status sosial
seseorang dalam masyarakat. Kalau zaman dahulu (mungkin dibeberapa tempat masih
terdapat) bahwa status sosial seseorang erat kaitannya dengan “kelahirannya”
(ascribed status), nampaknya hal tersebut seiring dengan perkembangan dan
kemajuan pola berpikir dan penegakan hak-hak asasi manusia status sosial
berdasarkan atas “kelahiran” mulai banyak ditinggalkan.
Orang-orang sekarang sudah mulai bergeser pola pemikirannya,
mereka sadar bahwa status sosial seseorang tidak saja hanya dapat diperoleh
dari kelahiran seperti keluarga bangsawan tetapi juga akan potensi pengembangan
diri misalnya dari pendidikan, pekerjaan, jabatan akademis, pekerjaan yang
diperolehnya, atau karena kekayaan yang dimilikinya.
Kalau kita lihat bahwa status sosial tersebut diperoleh dengan
tiga jalan, dua telah dikemukakan di atas. Pertama, status sosial yang
diperoleh karena adanya kelahiran (ascribed status). Sifat dasar status yang
dieroleh berdasarkan atas kelahiran adalah konsep “dibebankan” yang melekat
pada status tersebut. Misalnya dapat ditemui pada keluarga bangsawan Kerajaan
Inggris, Brunei ataupun Kesultanan Yogyakarta dan Solo. Sampai saat ini pun,
gelar-gelar ini banyak kita temui dalam kehidupan modern seperti gelar KPGH,
KPH dan Raden Mas (yang masih banyak sekali kita temui dalam kebudayaan Jawa).
Kedua, yaitu status sosial yang diperoleh dengan jalan karena
prestasi yang diperoleh seseorang karena prestasinya dinilai bermanfaat bagi
masyarakat, yang diberikan oleh lembaga yang berhak untuk memberikan gelar atau
penghargaan tersebut. Misalnya Gelar “Lord” atau “Sir” yang diberikan oleh
Kerajaan Inggris, Gelar “Datuk” atau “Tan Sri” yang diberikan oleh Kerjaan
Malaysia, Kanjeng Raden Temenggung (KRT) oleh Kesultanan Yogayakarta ataupun
Gelar Doktor Honoris Causa (Dr(Hc)) dari sebuah universitas yang sebenarnya
hanya boleh dipergunakan ketika yang bersangkutan ada dalam kegiatan resmi
universitas yang memberikan gelar tersebut. Terakhir, ketiga, gelar atau
penghargaan yang diperoleh karena adanya prestasi (achievement) yang diperoleh
seseorang dalam bidang ilmu pengetahuan. Contohnya gelar Ir, Drs, S.Sos,M.Si,
MSc, MA, DR ataupun Ph.D.
2.2 Cara Mempelajari
Stratifikasi Sosial
Menurut Zarden, di dalam sosiologi dikenal tiga pendekatan untuk
mempelajari stratifikasi sosial, yaitu;
1. Pendekatan Objektif
Pendekatan objektif artinya, usaha untuk memilah-milah masyarakat
kedalam beberapa lapisan dilakukan menurut ukuran-ukuran yang objektif berupa
variable yang mudah diukur secara kuantitatif , contohnya tingkat pendidikan
dan perbedaan penghasilan.
2. Pendekatan Subjektif
Pendekatan subjektif artinya munculnya pelapisan sosial dalam
masyrakat tidak diukur dengan kriteria-kriteria yang objektif, melainkan
dipilih menurut kesadaran subjektif warga itu sendiri, contonya seseorang yang
menurut kriteria objektif termasuk miskin, menurut pendekatan subjektif ini
bisa saja dianggap tidak miskin, kalau ia sendiri memang merasa bukan termasuk
kelompok masyarakat miskin.
3. Pendekatan
Reputasional
Pendekatan reputasional artinya pelapisan social disusun dengan
cara subjek penelitian diminta menilai setatus orang lain dengan jalan menempatkan
orang lain tersebut ke dalam sekala tertentu. Untuk mecari siapakah didesa
tertentu yang termasuk kelas atas, peneliti yang menggunakan pendekatan
reputasional bisa melakukannya dengan cara cara menanyakan kepada warga didesa
tersebut siapakah warga desa setempat yang paling kaya atau menyakan siapakah
warga desa setempat yang paling mungkin diminta pertolongan meminjamkan uang
dan sebagainya.
2.3 Unsur – Unsur
Stratifikasi Sosial :
a. Status Sosial
(Kedudukan)
Adalah tempat dimana seseorang dihubungkan dengan orang-orang
lainnya dalam suatu sistim sosial. Dapat juga diartikan sebagai
hasil penilaian orang lain terhadap diri seseorang dengan siapa ia
berhubungan.
Cara Memperoleh Status:
1. Ascribed Status
· Kedudukan yang diperoleh berdasarkan keturunan,
kelahiran
· Masyarakat tidak dapat memilih
· Bukan berdasar pada kemampuan
2. Achieved Status
· Kedudukan yang diperoleh berdasarkan usaha yang
sengaja
· Berdasarkan pada kemampuan
b.
Sosial Role (Peranan Sosial)
ü Adalah perilaku normatif seseorang karena
kedudukannya
ü Pola perilaku yang diharapkan sesuai dengan
status yang disandangnya.
ü Merupakan sisi lain dari kedudukan
ü Bila seseorang melaksanakan hak dan
kewajiabannya sesuai dengan kedudukannya berarti telah menjalankan peranannya.
2.4 Sebab-sebab Terjadinya Stratifikasi Sosial
Setiap masyarakat mempunyai sesuatu yang dihargai, bisa berupa
kepandaian, kekayaan, kekuasaan, profesi, keaslian keanggotaan masyarakat dan
sebagainya. Selama manusia membeda-bedakan penghargaan terhadap sesuatu yang
dimiliki tersebut, pasti akan menimbulkan lapisan-lapisan dalam masyarakat.
Semakin banyak kepemilikan, kecakapan masyarakat/seseorang terhadap sesuatu
yang dihargai, semakin tinggi kedudukan atau lapisannya. Sebaliknya bagi mereka
yang hanya mempunyai sedikit atau bahkan tidak memiliki sama sekali, maka
mereka mempunyai kedudukan dan lapisan yang rendah.
Seseorang yang mempunyai tugas sebagai pejabat/ketua atau pemimpin
pasti menempati lapisan yang tinggi daripada sebagai anggota masyarakat yang
tidak mempunyai tugas apa-apa. Karena penghargaan terhadap jasa atau
pengabdiannya seseorang bisa pula ditempatkan pada posisi yang tinggi, misalnya
pahlawan, pelopor, penemu, dan sebagainya. Dapat juga karena keahlian dan
ketrampilan seseorang dalam pekerjaan tertentu dia menduduki posisi tinggi jika
dibandingkan dengan pekerja yang tidak mempunyai ketrampilan apapun.
2.5 Proses
Terjadinya Stratifikasi Sosial
Stratifikasi sosial terjadi melalui proses sebagai berikut:
a. Terjadinya secara otomatis, karena faktor-faktor
yang dibawa individu sejak lahir. Misalnya, kepandaian, usia, jenis kelamin,
keturunan, sifat keaslian keanggotaan seseorang dalam masyarakat.
b. Terjadi dengan sengaja untuk tujuan bersama
dilakukan dalam pembagian kekuasaan dan wewenang yang resmi dalam
organisasi-organisasi formal, seperti : pemerintahan, partai politik,
perusahaan, perkumpulan, angkatan bersenjata.
2.6 Kriteria Dasar
Penentu Stratifikasi
Kriteria atau ukuran yang umumnya digunakan untuk mengelompokkan
para anggota masyarakat ke dalam suatu lapisan tertentu adalah sebagai berikut
:
a. Kekayaan
Kekayaan atau sering juga disebut ukuran ekonomi. Orang yang
memiliki harta benda berlimpah (kaya) akan lebih dihargai dan dihormati
daripada orang yang miskin. Kekayaan sebagai ukuran dalam menentukan
stratifikasi sosial walaupun ada kuantitas tetapi pada dasarnya adalah relative
untuk suatu masyarajat.
Ukuran orang kaya pada masyarakat pedesaan adalah luas pemilikan
dan penguasaan tanah dan sering di simbolkan dengan rumah berbentuk Joglo
tetapi berbeda halnya dengan masyarakat perkotaan didamping gedung yang mewah
juga mobil yang mewah sebagai symbol kekayaan yang dimilikinya.Kekayaan sebagai
sebuah ukuran dari startifikasi social dalam masyarakat tetap tergantung pada
situasi dan kondisi masyarakat yang bersangkutan.
b. Kekuasaan
Kekuasaan dipengaruhi oleh kedudukan atau posisi seseorang dalam
masyarakat. Seorang yang memiliki kekuasaan dan wewenang besar akan menempati
lapisan sosial atas, sebaliknya orang yang tidak mempunyai kekuasaan berada di
lapisan bawah. Ukuran kekuasaan akan terkait dengan besar kecilnya dan luas
sempitnya pengaruh yang dimiliki seseorang dalam masyarakatnya. Semakin luas
dan tinggi pengaruh yang dimiliki oleh seseorang semakin tinggi stratifikasi
yang dimilikinya dan semakin rendah dan sempit dan bahkan tidak memiliki
pengaruh keberadaan seseorang dalam masyarakat semakin rendah stratifikasi
sosialnya.
Kekuasaan yang dimiliki seseorang bukanlah sesuatu yang bersifat
formal saja seperti pejabat pemerintah setermpat maupun pejabat pemerintah yang
lain. Kekuasaan tersebut berupa kepatuhan dan ketaatan bagi seseorang untuk
mengikuti apa yang menjadi saran atau perintahnya. Seorang Kyai memberikan
saran kepada seseorang untuk menghentikan kebiasan minum miras atau merokok dan
yang yang bersangkutan langsung menghentikan tindakannya, maka kyai tersebut
memiliki kekuasaan yang tinggi atau kuat; demikian juga halnya kepada orang
lain jika apa yang mereka kehendaki dan orang melakukannya, maka orang tersebut
memiliki kekuasaan yang tinggi atau kuat.
c. Keturunan
Ukuran keturunan terlepas dari ukuran kekayaan atau kekuasaan.
Keturunan yang dimaksud adalah keturunan berdasarkan golongan kebangsawanan
atau kehormatan. Kaum bangsawan akan menempati lapisan atas seperti gelar :
- Andi di masyarakat Bugis,
- Raden di masyarakat Jawa,
- Tengku di masyarakat Aceh, dan sebagainya.
d. Kepandaian/penguasaan
ilmu pengetahuan
Seseorang yang berpendidikan tinggi dan meraih gelar kesarjanaan
atau yang memiliki keahlian/profesional dipandang berkedudukan lebih tinggi,
jika dibandingkan orang berpendidikan rendah. Status seseorang juga ditentukan
dalam penguasaan pengetahuan lain, misalnya pengetahuan agama, ketrampilan
khusus, kesaktian, dsb. Ukuran Ilmu Pengetahuan akan meliputi dua ukuran yaitu
: pertama, ukuran formal yaitu ijazah sebagai ukurannya.
Semakin tinggi gelar atau ijazah yang dimiliki semakin
tinggi strata sosialnya dan semakin rendah ijazah yang dimiliki semakin rendah
strata sosialnya. Kedua, ukuran non formal adalah professional atau keahlian
yang mereka miliki melalui ketrampilan yang dia lakukan. Mereka memperoleh
keahlian tersebut tidak melalui jalur pendidikan formal. Pakar pengobatan
alternative, mereka memperoleh keahliannya bukan belajar di fakultas
Kedokteran, melainkan diproleh dari luar pendidikan formal yang ada.
Ukuran ilmu pengetahuan sering dipakai oleh anggota-anggota
masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Seseorang yang paling menguasai
ilmu pengetahuan akan menempati lapisan tinggi dalam sistem pelapisan sosial
masyarakat yang bersangkutan. Penguasaan ilmu pengetahuan ini biasanya terdapat
dalam gelar-gelar akademik (kesarjanaan), atau profesi yang disandang oleh
seseorang, misalnya dokter, insinyur, doktorandus, doktor ataupun gelar
profesional seperti profesor.
Namun sering timbul akibat-akibat negatif dari kondisi ini jika
gelar-gelar yang disandang tersebut lebih dinilai tinggi daripada ilmu yang
dikuasainya, sehingga banyak orang yang berusaha dengan cara-cara yang tidak
benar untuk memperoleh gelar kesarjanaan, misalnya dengan membeli skripsi, menyuap,
ijazah palsu dan seterusnya.
2.7 Bentuk Stratifikasi
Sosial
Bentuk Stratifikasi:
Kasta, Estate dan Kelas Sosial
Anggapan masyarakat modern secara refleks, bahwa tahap-tahap dalam
pembangunan, pekerjaan dalam organisasi dan pekerjaan berhubungan dengan
struktur sosial masyarakat setempat yang mana memberikan kerangka substansial
yang terdiri dari individu-individu, kelompok dan institusi dimana mereka
hidup. Permasalahan utama dalam masyarakat yang sering kali dilihat dan banyak
mendapat perhatian adalah kelas sosial (social class), ketidakseimbangan
(Inequality) dan perubahan sosial (social change).
Konsep kelas muncul untuk mengidentifikasi individu-individu
atau kelompok-kelompok dalam masyarakat yang membedakannya dalam mendapatkan
fasilitas kesehatan, ekonomi, kesejahteraan. Menurut Sanderson, sistem
stratifikasi sosial berkenaan dengan adanya dua atau lebih kelompok dalam suatu
masyarakat tertentu, yang anggota-anggotanya memiliki kekuasaan, hak-hak
istimewa, dan pretise yang tidak sama pula. Sistem stratifikasi sosial ada tiga
yakni caste, estate dan class system.
a. Sistem Kasta
Sistem kasta memilki karakteristik sistem kelas yang horizontal
(strata) yang merefresentasikan area-area fungsional yang terdapat dalam
masyarakat. Area-area tersebut meliputi religi (agama), pendidikan,
pemerintahan dan bisnis. Masing-masing area kemudian disusun berdasarkan atas tingkat
kepentingan fungsional dalam masyarakatnya. Penentuan urutan tersebut terkadang
merupakan hasil dari perjuangan kelompok tertentu yang ada dalam masyarakat dan
terkadang merupakan hasil penaklukan dari kelompok yang berada di luar
masyarakat.
Dalam kedua kasus tersebut, sistem distabilkan melalui
nilai-nilai dalam masyarakat. Konsep kasta merupakan gejala khas masyarakat
feodal, sedangkan kelas tersebut adalah gejala masyarakat pasca-feodal
(postkolonial). Sebagai daerah bekas pendudukan Hindu yang bersifat feodalisme,
Indonesia masih memiliki ciri dan karakteristik masyarakat yang berbentuk
kasta.
Istilah Kasta umumnya berkenaan dengan bentuk kaku dari
stratifikasi sosial masyarakat yang ditandai dengan adanya strata edomogamus
(dalam perkawinan), yang mempraktekkan penolakan terhadap sesama dan tidak
memungkinkan terjadinya mobilitas. Menurut McCord, sistem kasta atau sistem
yang mirip dengannya mulai ada pada masyarakat Hindu di India sekitar 2000
tahun yang lalu. Dalam ideolgi Hindu India ini setiap hubungan dengan kasta
lain (apalagi yang dibawahnya) adalah sesuatu yang terlarang.
Sistem kasta yang masih kental di dunia dapat kita lihat masih ada
dalam sistem kemasyarakatan, khususnya di India. Sistem kasta Hindu merupakan
bentuk rumit dan kaku dari stratifikasi sosial di dunia ini. Sistem ini
kemungkinan juga merupakan fenomena sosial yang paling sedikit dimengerti dalam
ilmu sosial.
Kasta disini seringkali mirip dengan “klan” jenis kolektif yan
lebih lama yang mengasumsikan sebuah fungsi dari asosiasi. Di India, sebenarnya
ada lima kasta (satu kelompok sering kali disebut sebagai kelompok yang tidak
memiliki kasta) yang berkembang, namun seiring dengan adanya doktrin
tradisional yang sering disebut dengan kasta hanya empat yakni Kasta Brahmana (Pendeta),
Ksatrya (keluarga raja dan pemimpin kerajaan), Waisya terdiri dari golongan
pedagang dan Kasta Sudra yakni para petani, sedangkan Kasta yang tidak memiliki
“Kasta” dinamakan dengan sebutan Hariyan.
Kasta Sudra memiliki tempat rendah dan dianggap sebagai
kasta yang kotor oleh golongan kasta yang ada diatasnya. Dalam Weda, konsep
sebenarnya tidak ada, ini hanya merupakan sebuah akal-akalan atau siasat dari
kaum Brahmana (kaum terpelajar dan hanya yang diijinkan waktu itu untuk membaca
kitab suci atau mendapatkan pendidikan) untuk mempresentasikan dirinya sebagai
kasta tertinggi, sedangkan sisanya memiliki kasta yang lebih atau agak dekat
dengannya.
Kemunculan kelas kasta ini sebagai bentuk kolaborasi antar pendeta
(rohaniawan) yang dalam hal ini sebagai kelas yang dominan dengan tuan tanah
(mencengkramkan feodalisme) untuk mengembangkan kultur hemogeni sistem kasta
yang diselenggarakan dari ajaran Weda, Kitab Suci Agama Hindu.
Hegemoni budaya (ideologi yang dominan) ini meenggaris bawahi
bahwa tipa-tipa orang dalam masyarakat dilahirkan pada kedudukan (status),
struktur sosial dan kasta tertentu sehingga sangat tabu bagi masyarakat untuk
melakukan perkawinan antar kasta karena hal tersebut dianggap sebagai hal yang
melanggar aturan, norma dan dinilai sebagai perkawinan kotor atau najis.
Sehingga ada kecenderungan terjadi eksploitasi oleh kelas dominan (pendeta)
terhadap kelas yang lebih rendah, begitu
seterusnya.
Gould menyatakan masyarakat yang umum mengembangkan sistem
stratifikasi sosial yang menyerupai kasta adalah masyarakat yang agraris.
Masyarakat kasta memiliki ciri-ciri penting sebagai berikut: (i) tingkat
perubahan teknologi relatif lambat; (ii) strata sosial, yang umumnya adalah
Ksatrya (prajurit) atau Brahmana (pendeta), memiliki pengaruh atau kekuasaan
yang besar; (iii) heterogenitas kultural, sosial atau rasial.
Sistem kasta ini tidak hanya pada bidang-bidang sosial saja,
melainkan juga pada bidang-bidang lain terutama ekonomi. Seperti penelitiannya
Joan Mecher , penguasaan kasta ternyata pada tingkatan ekonomi, dimana kelas
kasta memberi legitimasi kaum penguasa tanah (yang didukung oleh rohaniawan
Hindu-merupakan kasta tertinggi di India) merugikan kelas petani yang berkasta
lebih rendah.
Kasta Heriyan menderita dua kerugian utama yakni, eksploitasi
ekonomi dan identitas yang terhina. Hukum-hukum yang melarang praktek
eksploitasi ekonomi dan penghinaan identitas tidak memiliki sebuah kekuatan
untuk menghalangi praktek-praktek ini. Para Brahmana dari kasta atas memiliki
kewenangan untuk memberikan sanksi kepada kasta yang ada dibawahnya, jika kasta
yang dibawahnya mereka anggap melanggar aturan-aturan tradisional masyarakat
India.
Dari hal tersebut Mecher mengambil suatu kesimpulan bahwa dalam
masyarakat berkasta, para aristokrat tuan tanah berkolborasi dengan kaum
rohaniawan (kasta dominan) untuk mengembangkan kultur hegemoni sistem kasta
yang diselenggarakan dari ajaran Weda (Kitab Suci Agama Hindu). Dimana hegemoni
budaya (ideologi dominan) “kasta” itu menganggap bahwa tiap-tiap individu dalam
masyarakat dan hubungan-hubungan antara kasta yang berbeda (barangkali kasta
dibawahnya) dianggap sebagai sebuah hubungan yang bersifat kotor, najis,
pantangan dan melanggar etika.
Dalam hal ini perkawinan camouran antar kasta merupakan sesuatu
yang harus dihindari, sehingga dengan perkataan lain hubungan sosial dalam
kasta diatur sedemikian rupa. Cara berbahasa, gerak tubuh dan bersikap diatur
sedemikian rupa. Bahkan di kadangkala pakaian dan tata cara menggenakan busana
pun diatur sedemikian rupa, pakaian yang dikenakan menunjukkan kelas staus
seseorang dari kasta mana ia berasal. Sehingga keadaan ini memberikan sebuah
kesempatan kepada kasta lebih atas untuk mendominasi kehidupana kasta
dibawahnya dengan jalan eksploitasi ekonomi dan penghinaan identitas diri.
Telah dikemukakan di atas bahwa sistem stratifikasi sosial dalam
hal ini kasta, sebagai suatu wujud sistem masyarakat dengan pelapisan sosial
tertutup, tidak ada yang mutlak tertutup dari suatu gerak sosial (mobilitas).
Salah satu bentuknya adalah perkawinan. Telah jauh sebelumnya pada masyarakat
di India, dikatakan sebagai suatu hal yang najis untuk berhubungan dengan
individu yang berbeda kasta, perkawinan antar kasta menjadi dilarang. Begitu
juga hal pada masyarakat Bali.
Bagi masyarakat Bali perkawinan adalah suatu rangkaian kehidupan
yang amat penting bagi mereka. Tahapan-tahapan kehidupan masyarakat Bali telah
diatur dalam suatu konsep “jalan kehidupan”, mulai datri masa menuntut ilmu
(Brahmacari), masa membina rumah tangga dan masa mengasingkan diri kepada
Tuhan. Konsep ini sudah tertanam pada masyarakat Bali. Sebenarnya ada tiga
upacara besar dalam masyarakat Bali yakni Perkawinan, Kematian (ngaben) dan
upacara-upacara agama.
Ngurah Bagus menyatakan bahwa berdasarkan adat lama yang masih
kental dengan sistem klen-klen (dadia) dan sistem kasta (wangsa), sedapat
mungkin perkawinan yang dilakukan oleh seorang pemuda dan pemudi yang masih
memiliki kesamaan klen dan tidak diperbolehkan dengan orang-orang yang dianggap
memiliki derajt lebih tinggi dalam kastanya. Perkawinan adat Bali bersifat
endogami klen, sedangkan perkawinan yang masih dicita-citakan oleh masyarakat
Bali yang masih bersifat kolot adalah perkawinan antar anak-anak dari dua orang
saudara laki-laki. Orang-orang yang masih se-klen (masih dalam satu sanggah,
tunggal dadia, tunggal kawitan), merupakan orang-orang yang setingkat
kedudukannya dalam adat dan agama.
Demikian juga halnya dalam kasta pada masyarakat Bali, perkawinan
antar kasta sangatlah dijaga agar jangan sampai terjadi. Batasan perkawinan
hanya dalam satu klen atau kasta yang segolongan sangatlah kuat dijaga oleh
generasi tua dalam masyarakat Bali. Hal ini didasari atas pemikiran mereka
bahwa perkawinan antar kasta atau klen akan mengakibatkan terjadinya
ketegangan-ketegangan atau noda-noda dalam keluarga. Dala hal ini teruatam
harus dijaga perkawinan dari anak wanita yang memiliki status kasta lebi tingi
dengan pemuda yang memiliki kasta lebih rendah. Perkawinan seperti ini membawa
malu dan turunnya gengsi kasta dalam masyarakat, maka wanita ini akan dinyatak
keluar dari dadia-nya dan secara fisik suami istri akan dibuang (maselong)
untuk berapa lama, ke tempat jauh dari asalnya dan tidak diperbolehkn
berhubungan dengan masyarakat.
b. Sistem Estate
Bentuk kedua dari stratifikasi sosial adalah sistem estate yang
pada dasarnya juga berdasarkan pada sistem kelas tertutup, tetapi lebih longgar
bila dibandingkan dengan sistem kasta. Sistem estate mencapai masa kejayaannya
pada masa feodalisme di eropa dan masih digunakan oleh beberapa negara yang
tetap mempertahnkan sistem aristokrasi atau kepemilikan tanah secara turun
temurun (feodalis Eropa). Istilah ”estate” berasal dari terminologi feodal
Eropa.
Seperti sistem kasta, sistem estate didasarkan pada urutan posisi
berdasarkan atas stratifikasi fungsional. Bedanya adalah area-area fungsional
tersebut dianggap sebagai pelengkap dan sama pentingnya. Dengan kata lain, area
militer, religius (agama), pemerintah dan ekonomi dianggap sama pentingnya
dalam masyarakat. Oleh karenanya area-area fungsional tersebut dianggap sebagai
urutan vertikal dari kekuasaan bukan sebagai sebagai urutan horizontal.
c. Sistem Kelas
Aristotle menggambarkan bahwa didunia ini ada tiga kelas utama
yang menyusun kehidupan dan akan selalu tergambar dalam setiap masyarakatnya,
pengkategorian kelas menurut Aristoteles ini berdasarkan atas status sosial
yang mereka peroleh dari ukuran ekonomi yaitu seberapa besar kekayaan yang
dipunyainya. Ketiga kelas tersebut adalah kelas atas (kelas kaya), kelas bawah
(kelas miskin) dan kelas yang ketiga, yang berada diantara kelas kaya dan kelas
miskin tersebut yakni kelas menengah. Kelas menengah merupakan kelas yang
selama ini membuat kestabilan dalam masyarakat. Kelas menengah ini memiliki
posisi penting dalam rangka menjaga kestabilan masyarakat.
Sebagaimana yang dikemukana oleh Dahrendorf, istilah kelas pertama
kali muncul dan diperkenalkan oleh bangsa Romawi dan sepanjang sejarahnya kelas
tersebut selalu mengalami pergeseran arti . Awal mulanya digunakan untuk
istilah dalam pembayaran pajak, yang terbagi ke dalam dua kelas, yakni kelas
assidui atau golongan kaya dan plotariat atau golongan miskin. Pergeseran
selanjutnya adalah istilah yang dipergunakan oleh Marx, khususnya dalam bidang
ekonomi yakni untuk menentukan kesenjangan sosial.
Menurut Elster, teori Marx tentang kelas mulai dengan seperangkat
kepentingan tertentu yang didefinisikan secara obyektif yang muncul dari hubungan-hubungan
penindasan serta dominasi oleh kelompok elite terhadap aset produksi.
Obyektifitas manusia mencul akibat adanya pemikiran bahwa orang senantiasa
memiliki kepentingan agar tidak menjadi kelompok atau individu yang didominasi
oleh kelompok atau individu lain. Peningkatan kepentingan tersebut hanya dapat
diraih secara kolektif, atau dalam artian membentuk suatu kelompok yang
memiliki karakteristik yang sama atau kepentingan yang sama. Teori ini juga
mengkaji tentang kenapa kepentingan obyektif muncul sebagai kepentingan
subyektif yang tidak dirasakan oleh sebagian kelompok orang. Teori ini juga
mengkaji tentang perjuangan kelas dari masyarakat.
Pengajuan perbedaan kelas dan status selanjutnya banyak dibahas
juga oleh Weber dengan secara lebih ekplisit menyebut kelas, status dan partai.
Ketiga kelas ini menunjukkan tatanan sosial dalam masyarakat. Kelas merupakan
stratifikasi sosial berkenaan dengan hubungan produksi dan penguasaan harta
benda. Kelompok status lebih ditekankan pada nilai yang dianut dalam kelompok
sosial sebagai suatu perwujudan stratifikasi berkaiatan dengan pengkonsumsian
atau penggunaan harta benda sebagaimana yang dicerminkan sebagai gaya hidup.
Sedangkan partai merupakan perkumpulan sosial yang berorientasi terhadap
penggunaan kekuasaan sosial dalam masyarakat guna mencapai
kepentingan-kepentingannya (individu atau kelompok) dalam masyarakat.
Marx tidak pernah secara khusus dan mendetail membahas dan
meyebutkan apa yang dia maksud sebenarnya dengan kelas. Namun yang terjadi
adalah merekonstruksi berbagai definisi dari tulisan-tulisan yang pernah
ditulisnya dengan cara merujuk kembali tentang apa yang dimaksudnya sebagai
kelompok-kelompok yang seringkali dirujuk sebagai kelas. Pandangan Marx secara
khusus yakni kelas-kelas merupakan unit-unit fundamental (dasar) dalam konflik
sosial yang berimplikasi terjadinya perubahan sosial dalam masyarakat.
Kelas-kelas tidak dapat dibedakan secara khusus dan mendetail, namun demikian
kelas memiliki keberadaan riil dalam masyarakat.
Jadi konsep kelas menurut Marx, mengandaikan bahwa terjadi
interaksi-interaksi antara anggota-anggota kelas-kelas yang berbeda dengan cara
mentransfer perintah atau surplus. Marx beranggapan bahwa pelaku utama dalam
kemasyarakatan adalah adanya kelas-kelas ini. Sehingga sangat perlu kita
memperhatikan keberadaan kelas ini dalam masyarakat. Menurut Marx, kelas sosial
merupakan gejala khas masyarakat pascafeodal, sedangkan golongan dalam sosial
dalam masyarakat feodal dan kuno disebut dengan “kasta”.
2.8 Sifat Stratifikasi
Sosial
Menurut Soerjono Soekanto, dilihat dari sifatnya pelapisan sosial
dibedak menjadi sistem pelapisan sosial tertutup, sistem pelapisan sosial
terbuka, dan sistem pelapisan sosial campuran.
a. Stratifikasi Sosial
Tertutup (Closed Social Stratification)
Stratifikasi ini adalah stratifikasi dimana anggota dari setiap
strata sulit mengadakan mobilitas vertikal. Walaupun ada mobilitas tetapi
sangat terbatas pada mobilitas horisontal saja.
Contoh:
· Sistem kasta. Kaum Sudra tidak bisa pindah
posisi naik di lapisan Brahmana.
· Rasialis. Kulit hitam (negro) yang dianggap di
posisi rendah tidak bisa pindah kedudukan di posisi kulit putih.
· Feodal. Kaum buruh tidak bisa pindah ke posisi
juragan/majikan.
b. Stratifikasi Sosial Terbuka (Opened Social Stratification)
Stratifikasi ini bersifatdinamis karenamobilitasnya sangatbesar.
Setiap anggota strata dapat bebas melakukan mobilitas sosial, baik vertikal
maupun horisontal.
Contoh:
· Seorang miskin karena usahanya bisa menjadi
kaya, atau sebaliknya.
· Seorang yang tidak/kurang pendidikan akan dapat
memperoleh pendidikan asal ada niat dan usaha.
c. Stratifikasi Sosial
Campuran
Stratifikasi sosial campuran merupakan kombinasi antara
stratifikasi tertutup dan terbuka. Misalnya,seorang Bali berkasta Brahmana
mempunyai kedudukan terhormat di Bali, namun apabila ia pindah ke Jakarta
menjadi buruh, ia memperoleh kedudukan rendah. Maka, ia harus menyesuaikan diri
dengan aturan kelompok masyarakat di Jakarta.
2.9 Fungsi
Stratifikasi Sosial
Stratifikasi sosial dapat berfungsi sebagai berikut :
a. Distribusi hak-hak istimewa yang obyektif,
seperti menentukan penghasilan,tingkat kekayaan, keselamatan dan wewenang pada
jabatan/pangkat/ kedudukan seseorang.
b. Sistem pertanggaan (tingkatan) pada strata yang
diciptakan masyarakat yang menyangkut prestise dan penghargaan, misalnya pada
seseorang yangmenerima anugerah penghargaan/ gelar/ kebangsawanan, dan
sebagainya.
c. Kriteria sistem pertentangan, yaitu apakah
didapat melalui kualitas pribadi,keanggotaan kelompok, kerabat tertentu,
kepemilikan, wewenang atau kekuasaan.
d. Penentu lambang-lambang (simbol status) atau
kedudukan, seperti tingkah\ laku, cara berpakaian dan bentuk rumah.
e. Tingkat mudah tidaknya bertukar kedudukan.
f. Alat solidaritas diantara individu-individu atau
kelompok yang menduduki sistem sosial yang sama dalam masyarakat.
2.10 Pengaruh
Startifikasi Sosial dalam Masyarakat
Stratifikasi social adalah pembedaan masyarakat kedalam
lapisan-lapisan social berdasatrkan demensi vertical akan memiliki pengaruh
terhadap kehidupan bersama dalam masyarakat. Ikuti urain tentang dampak
stratifikasi social dalam kehidupan masyarakat berikut ini :
a. Eklusivitas
Stratifikasi social yang membentuk lapisan-lapisan social juga
merupakan sub-culture, telah menjadikan mereka dalam lapisan-lapisan gtertentu
menunjukan eklusivitasnya masing-masing. Eklusivitas dapat berupa gaya hidup,
perilaku dan juga kebiasaan mereka yang sering berbeda antara satu lapisan
dengan lapisan yang lain.
Gaya hidup dari lapisan atas akan berbeda dengan gaya hidup
lapisan menengah dan bawah. Demikian juga halnya dengan perilaku masing-masing
anggotanya dapat dibedakan; sehingga kita mengetahui dari kalangan kelas social
mana seseorang berasal.
Eklusivitas yang ada sering membatasi pergaulan diantara kelas
social tertentu, mereka enggan bergaul dengan kelas social dibawahnya atau
membatasi diri hanya bergaul dengan kelas yang sanma dengan kelas mereka.
b. Etnosentrisme
Etnosentrisme dipahami sebagai mengagungkan kelompok sendiri dapat
terjadi dalam stratifikasi social yang ada dalam masyarakat. Mereka yang berada
dalam stratifikasi social atas akan menganggap dirinya adalah kelompok yang
paling baik dan menganggap rendah dan kurang bermartabat kepada mereka yang
berada pada stratifikasi social rendah.
Pola perilaku kelas social atas dianggap lebih berbudaya
dibandingkan dengan kelas social di bawahnya. Sebaliknya kelas social bawah
akan memandang mereka sebagai orang boros dan konsumtif dan menganggap apa yang
mereka lakukan kurang manusiawi dan tidak memiliki kesadaran dan solidaritas
terhadap mereka yang menderita. Pemujaan terhadap kelas sosialnya masing-masing
adalah wujud dari etnosentrisme.
c. Konflik Sosial
Perbedaan yang ada diantara kelas social dapt menyebabkan
terjadinya kecemburuan social maupun iri hati. Jika kesenjangan karena
perbedaan tersebut tajam tidak menutup kemungkinan terjadinya konflik social
antara kelas social satu dengan kelas social yang lain.
Misalnya demonstrasi buruh menuntut kenaikan upah atau peningkatan
kesejahteraan dari perusahaan dimana mereka bekerja adalah salah satu konflik
yang terjadi karena stratifikasi social yang ada dalam masyarakat.
2.11 Stratifikasi
Sosial di Indonesia
Pada dasarnya, di mata Tuhan semua manusia
memiliki derajat dan martabat yang sama. Namun manusialah yang membuat
standar-standar penghormatan dan penghargaan tertentu sehingga terbentuk
lapisan-lapisan sosial dalam kehidupan masyarakat. Terbentuknya lapisan-lapisan
sosial tersebut membawa konsekuensi pada berkembangnya anggapan tentang adanya
lapisan sosial yang dipandang lebih tinggi, lapisan sosial yang dipandang
berada dalam posisi menengah, dan lapisan sosial yang dipandang lebih rendah
dari lapisan-lapisan sosial lainnya.
Tinggi rendahnya seseorang dalam sebuah sistem
pelapisan sosial tergantung pada status sosial yang dimiliki. Status
sosial yang disandang oleh seseorang diperoleh berdasarkan penilaian dan
pengakuan dari masyarakat yang ada di lingkungan sekitarnya. Dalam hubungan
ini, sosiolog Talcott Parsons menyebutkan adanya lima kriteria yang dapat
dijadikan dasar untuk menentukan tinggi rendahnya status sosial seseorang,
yakni :
(1)
kelahiran, seperti: ras, jenis kelamin, kebangsawanan, dan sebagainya,
(2)
kualitas atau mutu pribadi, seperti: kecerdasan, kebijaksanaan, kekuatan, keterampilan,
dan sebagainya,
(3)
prestasi, yakni karir seseorang dalam bidang pendidikan, jabatan, usaha, dan
lain sebagainya,
(4)
kepemilikan atau kekayaan, yakni pencapaian seseorang dalam mengumpulkan harta
kekayaan, dan
(5)
kekuasaan dan wewenang, yakni besar kecilnya kemampuan seseorang dalam
mempengaruhi orang lain.
Seperti
yang telah dibahas di atas, bahwa sistem pelapisan sosial ada yang bersifat
tertutup dan ada pula yang bersifat terbuka. Sistem pelapisan sosial yang
bersifat terbuka akan membuka celah bagi proses perubahan. Perubahan-perubahan
lapisan sosial tersebut disebabkan oleh adanya perubahan orientasi sistem nilai
dalam kehidupan masyarakat.
Bagi
bangsa Indonesia, setidaknya terdapat dua indikator utama yang menyebabkan
terjadinya perubahan dalam sistem pelapisan sosial, yakni: (1) sistem
kolonialisme dan imperialisme yang menginjak-injak kemerdekaan dan kedaulatan
bangsa, baik dalam bidang sosial, ekonomi, politik, maupun kebudayaan, dan (2)
industrialisasi yang dilaksanakan sebagai suatu upaya dalam menggalakkan
pembangunan di tanah air. Dua indikator utama tersebut sedikit banyak telah
merubah sistem nilai dan sistem norma dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat
yang pada gilirannya telah memunculkan sistem pelapisan sosial yang baru yang
berbeda sama sekali dengan sistem pelapisan sosial yang ada sebelumnya.
Bangsa Indonesia patut bersyukur karena telah
dianugrahi berbagai kelebihan, seperti: kekayaan sumber daya alam (SDA)
yang melimpah ruah, posisinya yang sangat strategis, yakni berada pada jalur
persimpangan dunia, dan lain sebagainya. Beberapa kelebihan yang dimiliki oleh
bangsa Indonesia tersebut telah menarik perhatian negara-negara di dunia sejak
ratusan tahun yang lalu hingga sekarang. Akibatnya, selama ratusan tahun
kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Indonesia untuk mengatur negerinya sendiri
diinjak-injak oleh kaum kolonialis dan kaum imperialis yang serakah. Kaum kolonialis
dan kaum imperialis dari Portugis, Spanyol, Inggris, Belanda, dan Jepang pernah
merampas kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Indonesia. Dari sekian banyak negara
yang pernah menginjakkan kaki dan menjajah bangsa Indonesia tersebut, bangsa
Belandalah yang paling lama, yakni sekitar 350 tahun.
Kaum kolonialis dan kaum imperialis telah
menguasai seluruh bidang kehidupan bangsa Indonesia, terutama bidang politik,
ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Bahkan, untuk mempertahankan kekuasaannya,
kaum kolonialis dan kaum imperialis telah memciptakan suasana sedemikian rupa
sehingga bangsa Indonesia menjadi bangsa yang bodoh, miskin, dan rendah diri.
Kaum kolonialis dan kaum imperialis tidak memberikan kesempatan kepada bangsa
Indonesia untuk memperoleh pendidikan, jaminan kesehatan dan jaminan sosial
terhadap bangsa Indonesia sangat rendah. Disamping itu kaum
kolonialis dan kaum imperialis juga menerapkan rasdiskriminasi terhadap bangsa
Indonesia pada semua aspek kehidupan. Berbagai macam perlakuan yang tidak
manusiawi tersebut telah menyadarkan bangsa Indonesia, bahwa kolonialisme dan
imperialismep merupakan momok yang harus dilenyapkan dari muka bumi.
Kolonialisme dan imperialisme telah meninggalkan
bekas yang sangat dalam bagi kehidupan bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia telah
ditempatkan sebagai bangsa kuli atau budak yang harus memberikan penghormatan
yang setinggi-tingginya terhadap kaum kolonialis dan kaum imperialis. Adanya
perubahan-perubahan dalam struktur sosial bangsa Indonesia selama masa
kolonialisme dan imperialisme dijelaskan oleh sosiolog M.A.Jaspan dalam
bukunya yang berjudul Social Stratification and Social Mobility in
Indonesia. M.A. Jaspan mengatakan bahwa selama masa
kolonialisme dan imperialisme, struktur sosial masyarakat Indonesia yang semula
terdiri dari para kuli kenceng, kuli gundul, kuli karang kopek, dan indung
tlosor telah mengalami perubahan, sebagai berikut. Para kuli kenceng berkembang
menjadi kaum kulak yang kaya raya karena menguasai lahan pertanahan di
pedesaan. Dengan kekayaan seperti itu kaum kulak mampu memperkerjakan kuli
gundul dan kuli karang kopek untuk mengerjakan tanahnya dengan sistem bagi
hasil.
Dalam keadaan seperti itu, lambat laun kaum
kulak dapat menyaingi para bekel atau lurah yang merupakan penguasa tertinggi
di desa. Bahkan, dalam perkembangan berikutnya, kaum kuli kenceng yang telah
berkembang menjadi kaum kulak tersebut menjadi golongan priyayi yang mendapat
penghormatan dan penghargaan yang sangat tinggi dalam pandangan masyarakat Jawa
pada saat itu. Pola-pola yang dikembangkan oleh kaum kolonialis dan kaum
imperialis di Indonesia telah membuat terciptanya struktur masyarakat baru,
yang terdiri dari :
1. Lapisan masyarakat kelas 1
Terdiri dari orang-orang Belanda ditambah dengan
kaum bangsawan dan kaum kuli kenceng yang telah naik statusnya menjadi kaum
priyayi, setingkat dengan kaum bangsawan.
2. Lapisan masyarakat kelas 2
Terdiri dari orang-orang Tionghoa yang meraih
sukses dalam menjalankan kegiatan perdagangan di Indonesia.
3. Lapisan masyarakat kelas 3
Terdiri dari orang-orang pribumi (penduduk asli
Indonesia).
Lapisan masyarakat kelas 1 dan kelas 2 merupakan
minoritas tetapi memiliki fungsi dan peran yang sangat dominan dalam berbagai
bidang kehidupan, baik politik, ekonomi, sosial, maupun kebudayaan. Sedangkan
lapisan masyarakat kelas 3 merupakan mayoritas, namun berposisi sebagai
kelompok yang tertindas yang tidak mampu berbuat banyak terhadap lapisan
masyarakat kelas 1 dan kelas 2 yang menginjak-injak harkat dan martabat
kemanusiaannya. Dalam sistem pelapisan sosial tersebut, Belanda mengembangkan
tradisi hubungan kawulo-gusti. Rakyat jelata harus memberikan penghormatan dan
penghargaan yang setinggi-tingginya terhadap orang-orang Belanda, para
bangsawan dan para priyayi, termasuk terhadap orang-orang Cina. Hubungan
kawulo-gusti tersebut sengaja diciptakan dalam rangka pelaksanaan politik pecah
belah dan kuasai (devide et impera). Dengan cara seperti itulah sistem
kolonialisme dan sistem imperialisme yang diterapkan oleh Belanda mampu
bertahan lama di Indonesia.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
· Stratifikasi sosial adalah strata atau pelapisan
orang-orang yang berkedudukan sama dalam rangkaian kesatuan status sosial dan
memiliki sikap, nilai-nilai dan gaya hidup yang sama.
· Esensi dari stratifikasi sosial adalah setiap
individu memiliki beberapa posisi sosial dan masing-masing orang memerankan
beberapa peran untuk mengklasifikasikan individu-individu tersebut ke dalam
kategori status-peran.
· Cara mempelajari stratifikasi sosial yaitu
dengan Pendekatan Obyekti, Pendekatan Subyektif dan Pendektan Reputasional
· Proses terjadinya stratifikasi sosial yaitu
terjadi secara otomatis, karena faktor-faktor yang dibawa individu sejak lahir.
Misalnya, kepandaian, usia, jenis kelamin, keturunan, sifat keaslian
keanggotaan seseorang dalam masyarakat.
3.2 Saran
Walaupun
pada dasarnya, di mata Tuhan semua manusia memiliki derajat dan martabat yang
sama tapi manusialah yang membuat standar-standar penghormatan dan penghargaan
tertentu sehingga terbentuk lapisan-lapisan sosial dalam kehidupan masyarakat.
Terbentuknya
lapisan-lapisan sosial tersebut membawa konsekuensi pada berkembangnya anggapan
tentang adanya lapisan sosial yang dipandang lebih tinggi, lapisan sosial yang
dipandang berada dalam posisi menengah, dan lapisan sosial yang dipandang lebih
rendah dari lapisan-lapisan sosial lainnya.
Maka
dari itu sebaiknya manusia yang berada di derajat dan martabat yang lebih
tinggi tidak menindas para kalangan yang posisi stratifikasi sosial rendah
misalnya rakyat miskin.
DAFTAR PUSTAKA
2. Soekanto, Soerjono. 2003. Sosiologi
Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
3. file:///C:/Documents/sosan/stratifikasi-sosial.html
4. http ://stratifikasi sosial .sosan .com
5. Advestaimen.sosan.stratifikasi
6. http://ml.scribd.com/doc/25198935/Stratifikasi-Sosial
7. http://nyanyoataraxis.wordpress.com/2009/03/30/stratifikasi-sosial-sebuah-catatan-awal/
8. http://arifcahya.blogspot.com/2011/05/makalah-stratifikasi-sosial.html
9. http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/03/stratifikasi-sosial-di-indonesia/
.sangat membantu ^^,
BalasHapus